HUKUM WARIS
Mata Kuliah Hukum Perdata
PENDAHULUAN
Menyadari pentingnya posisi hukum islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dikatakan Joseph Schacht “Hukum islam menempati posisi sentral dan menjadi inti serta jantung dari agama islam itu sendiri”. Karena wajar islam seringkali disebut sebagai agama hukum. Dan dimakalah ini kami akan menguraikan sedikit yang bisa kami pahami tentang hukum waris. Hukum kewarisan islam merupakan persoalan penting dalam Islam, dan merupakan tiang diantara tiang-tiang hukum yang secara mendasar tercermin langsung dari teks-teks suci yang telah disepakti keberadaannya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, keberadaan hukum kewarisan islam dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkrit, dan realistis.
Pemaparan tentang kewarisan sampai berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa hukum kewarisan islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan. Hal ini terlihat dari teks kitab-kitab fikih klasik yang menyebut hukum kewarisan islam dengan ilmu “faraidh”. Kata faraidh merupakan jamak dari fa-ri-dlayang berarti ketentuan, sehingga ilmu faraidh diartikan dengan ilmu bagian yang pasti. Di negara indonesia juga terdapat hukum positif yang diberlakukan untuk masyarakat. Dalam hukum positif di indonesia, keberlakuan hukum kewarisan telah dengan jelas ditunjukan oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Dan ada yang menetapkan ketentuan kewarisan hukum islam yang tertuang dalam Keputusan Presiden nomo 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum kewarisan islam.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN WARIS
Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau dikenal dengan istilah faraidh. Merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardu sebagai suku kata dari kata faridah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti.
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Sebagian ulama fadirayun, mendifinisikan ilmu faraidh sebagai berikut: “Ilmu fiqih yang bertautkan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara penghitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka”.
Hasbi Ash-Siddieqy, dalam bukunya fiqih mawaris mendifinisikan ilmu faraidh sebgai berikut: “Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya”. Atau dengan redaksi yang lain: “Beberapa kaidah yang terpetik dari fiqih dan hisab untuk mengetahui secara khusus mengenai segala yang mempunyai hak terhadap peninggalan si mati dan bagian ahli waris dari harta peninggalan tersebut”.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171: “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah perancis yang berbunyi: “le mort saisit le vif,” sedangkan pengoperan segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”. Menurut pasal 843 B. W. Seorang ahli waris berhak untut menuntut supaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris.
B. SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM
Sebagian ulama kontemporer beranggapan dalam hal-hal tertentu yang dianggap tidak prinsipil, bisa saja ditafsirkan dan direkonstruksi sesuai dengan kondisi dan kemungkinan yang dapat dipertimbangkan, sehingga hukum mawaris islam harus mampu diterjemahkan dalam lingkup masyarakat yang mengitarinya. Syarat penerjemahan hukum kewarisan islam dengan pertimbangan berbagai variabel masyarakat adalah; Pengertian mendasar dari hukum kewarisan islam tersebut harus bersifat universal sesuai dengan fitrah Al-qur’an. Dengan demikian, operasional hukum kewarisan islam tidak bertentangan dengan nafas Al-Qur’an dan konteks masyarakat.
Hukum kewarisan islam merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap pemeliharaan harta peninggalan seorang muslim. Disamping itu, hukum kewarisan islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an untuk tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) dalam keadaan lemah. Rangkaian pengertian dan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan teoritik. Pengamalannya bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah).
Asaf A. A. Fyzee melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa huku kewarisan Islam terdiri dari dua unsur yang berlainan:
1. Adat kebiasaan arab purbakala.
2. Peraturan yang diatur Al-Qur’an dan dibawah oleh nabi.
Adat dan kebiasaan orang arab purbakala selalu memberikan harta kepada siapapun yang diinginkan, walaupun harus menyingkirkan saudara-saudaranya, sedangkan kaum perempuan tidak mendapat hak sebagai ahli waris. Harta warisan hanya diperuntukan kepada laki-laki dewasa yang mampu berperang serta tolan perjanjian. Adat kebiasaan arab jahiliyah tersebut kemudian dibatalkan dengan turunnya surat An-Nisa’ ayat 11. Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuannya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) dan sudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q. S. An-Nisa’: 11).
Dengan turunya ayat tersbut, maka kewarisan model jahiliyah telah terhapus dan dengan sendirinya tidak dapat dijadikan pedoman dalam pembagian harta waris. Sumber-sumber hukum Islam itu adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi dasar hukum kewarisan islam. Salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini adalah surat An-Nisa’ ayat 59. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah (Rasul)-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepda Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)”. (Q. S. An-Nisa’; 59).
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mu’min diharuskan untuk taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Hal ini dapat diberi pengertian bahwa seorang mu’min dalam memecah berbagai persoalan harus berdasarkan dari pada ketiga sumber terdebut.
1. AL-QUR’AN
Al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum islam. Karena itu, kendatipun sumber hukum kewarisan ada tiga, tetapi kedua hukum sesudah Al-Qur’an (Sunnah Rasul dan Ijtihad) harus tetap mengacu pada Al-Qur’an. Pertama kelompok ayat kewarisan inti, yaitu ayat-ayat yang langsung menjelaskan pembagian waris dan bagian-bagiannya yang telah ditentukan jumlahnya. beberapa ayat-ayat tersebut adalah:
a. Surat An-Nisa’ ayat 7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S. An-Nisa’; 7).
b. Surat An-Nisa’ ayat 12
Artinya: “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) atau sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (dan) atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengtahui lagi Maha Penyantun”. (Q. S. An-Nisa’; 12).
2. SUNNAH RASUL
Sebagai sumber legislasi yang kedua setelah Al-Qur’an, sunnah memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap Al-Qur’an, pada akhirnya hadist juga dapat membentuk hukum yang tidak disebut dalam Al-Qur’an.
Bentuk nyata dari fungsi hadist sebagai konkrotisasi Al-Qur’an dalam bidang kewarisan, misalnya hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. Artinya: “Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashobah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama.” (HR. Bukhori-Muslim).
Fungsi sunnah yang lain adalah sebagai pembentuk hukum yang tidak disebut dalam Al-Qur’an, salah satu contoh dari fungsi tersebut adalah hadist tentang wala’ ( warisan bekas budak yang tidak meninggalkan ahli waris), dalam kasus demikian maka ahli warisnya adalah orang yang memerdekakannya (HR. Bukhori Muslim), sedangkan harta orang yang meninggal tanpa mempunyai ahli waris adalah milik Baitul al-Mal (HR. Ahmad dan Abu Daud).
3. IJTIHAD
Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah yang diambil dari ijtihad para sahabat. Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash yang sharih. Misalnya: “Status cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dari pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu tersebut tidak mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab undang-undang hukum wasiat mesir yang meng-istinbat-kan dari ijtihad para ulama muqoddimin, mereka diberi bagian berdasarkan wasiat wajibah”.
C. HUBUNGANNYA DENGAN HUKUM WARIS NASIONAL
Di indonesia belum ada suatu ketentuan hukum tentang waris yang dapat ditetapkan untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, hukum warisan yang diterapkan bagi seluruh warga negara indonesia masih berbeda-beda mengingat penggolongan warga negara.
1. Bagi warga negara golongan indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat, yang sesuai dengan hukum adat yang berlaku masing-masing daerah.
2. Bagi warga negara golongan indonesia asli yang beragama islam di berbagai daerah, berlaku hukum islam yang sangat berpengaruh padanya.
3. Bagi orang arab pada umumnya, berlaku hukum islam secara keseluruhan.
4. Bagi orang-orang tionghoa dan eropa, berlaku hukum warisan dari Bugerlijk Wetboek.
Seperti penegasan tentang anak luar kawin dan anak angkat seharusnya juga termasuk dalam bagian ini. Mengenai anak yang lahir diluar perkawinan disebut dalam pasal 186 bahwa ia mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibunya. Sedangkan mengenai anak angkat perlu ada pengesahan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum islam anak angkat tidak mewarisi orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak mendapatkan bagian harta orang tua angkatnya melalui prosedur lain.
D. FUNGSI KEWARISAN
Islam datang menawarkan konsep kewarisan baru yang mampu menampung seluruh aspirasi keadilan. Ada empat macam konsep baru yang ditawarkan Al-Qur’an: Pertama, islam mendudukkan anak bersama dengan orang tua pewaris serentak sebagai ahli waris. Sedangkan kewarisan di luar islam, orang mungkin hanya menjadi ahli waris kalau pewaris tidak mempunyai keturunan. Kedua, islam memberi kemungkinan saudara berserta orang tua (minimal ibu) pewaris yang mati tanpa keturunan sebagai ahli waris. Ketiga, suami istri saling mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan tradisi arab jahiliyah yang menjadikan istri sebagai harta yang dapat diwariskan. Keempat, adanya perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.
Kewarisan merupakan ilmu yang berhubungan dengan harta milik, bila dalam pembagiannya tidak transparan dan berdasarkan kekuatan hukum yang jelas, dikhawatirkan di kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Begitu pentingnya ilmu kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada umatnya: Dari Ahmad bin Hanbal: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang suatu ketika mati dan ilmupun hampir hilang, sampai-sampai dua orang bersengketa dalam urusan faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaiman penyelesainnya”. (Basyir, 2001: 7).
Hadits Nabi tersebut merupakan penekanan akan pentingnya mempelajari faraidh, agar umat isllam tidak mudah berselisih dikemudian hari akibat tidak adanya orang yang mengetahui ilmu faraidh. Paling tidak ada tiga fungsi kewarisan islam, yaitu:
1. Sebagai sarana prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris sepeninggal pewaris.
2. Sebagai usaha preventif terhadap kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang dilarang oleh agama (QS. IV: 37).
3. Sebagai motivator setiap muslim untuk berusaha lebih giat guna memberikan kebaikan bagi keturunan sepeninggalnya.
E. SEBAB-SEBAB HUBUNGAN KEWARISAN DAN PENGHALANG KEWARISAN
1. Sebab-sebab kewarisan
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Karena hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Seperti kedua orang tua (bapak-ibu), anak, cucu, dan saudara, serta paman dan bibi. Singkatnya adalalah kedua orang tua, anak, dan orang yang bernasab dengan mereka. Allah SWT, berfirman dalam Al-Qur’an Artinya: “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagainya lebih berhak terhadap sesama (dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahua segala sesuatu.” (Q. S. Al-Anfal: 75).
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan merupan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu saja.
b. Karena hubungan pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakuakan akad nikah yang sah dan terjadi antara suami-istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak menyebabkan adanya hak waris.
Pernikahan yang sah menurut syari’at islam merupakan ikatan untuk mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama ikatan pernikahan itu masih terjadi. Bijaksan kalau Allah memberikan sebagian tertentu sebagai imbalan pengorbana dari jerih payahnya, bila salah satu dari keduannya meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka. Atas dasar itulah, hak suami maupun istri tidak dapat terhijab sama sekali oleh ahli waris manapun. Mereka hanya dapat terhijab nuqsan (dikurangi bagiannya) oleh anak turun mereka atau ahli waris yang lain.
c. Karena wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggalkan dunia, orang yang memerdekakan berhak mendapat warisan. Rasulullah SAW bersabda: “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan hamba sahaya.” (HR. Bukhori dan Muslim). Rasulullah SAW. Menganggap wala’ sebagai kerabat berdasarkan nasab, sesuai dengan sabdanya: “Wala’ itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” (HR. Muslim).
2. Sebab-sebab penghalang kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Adapun orang yang terhalang mendaptkan warisan ini adalah orang yang memenuhi sebab-sebab memperoleh warisan.
a. Perbudakan (hamba sahaya)
Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh majikannya. Padahal majikannya adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya yang menerima warisan tersebut.
Para fuqoha juga telah menggariskan bahwa hamba sahaya beserta barang-barang yang dimilikinya berada dibawah kekuasaan majikannya. Oleh karena itu, ia tidak dapat mewarisi harta peningglan kerabatnya agar harta warisan itu tidak jatuh ketangan majikannya.
b. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak boleh mewarisi harta peninggalannya. Dasar hukum yang menetapkan pembunuhan sebagai halangan untuk mewarisi ialah hadits Nabi SAW. Dan ijma’ para sahabat. Hadits Rasulullah SAW: “Barang siapa membunuh seorang korban, ia tidak dapat mempusakainya walaupun si korban itu tidak mempunyai waris selain dia, dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalannya.” (HR. Ahmad).
Adapun menurut pasal 838 telah ditetapkan ada orang-orang yang karena perbuatannya, tidak patut menerima warisan. Mereka itu, diantaranya ialah seorang waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si meninggal. Seorang waris yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan atau ancaman telah menghalang-halangi si meninggal untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya.
Selanjutnya dalam pasal 912 ditetepkan alasan-alasan yang menurut pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seorang patut menjadi waris, berlaku juga sebgai halangan untuk dapat menerima pemberian-pemberian dalam suatu testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika si meninggal itu ternyata dalam surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
Dalam kompilasi hukum islam diterangkan dalam pasal 173, seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tepat, dihukum karena:
Ø Dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
Ø Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
c. Perbedaan agama
Yang dimaksut perbedaan agama adalah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang di warisi. Misalnya, agamanya orang yang mewarisi itu kafir, sedang yang diwarisi beragam islam, maka orang kafir tidak boleh mewarisi harta peninggalan orang islam. Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhori-Muslim).
Ditetapkan juga dalam kompilasi hukum islam dalam pasal 172, ahli waris dipandang islam apabila diketahui dari kartu identitasnya atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
PENUTUP
Dari keterangan di atas kami bisa menyimpulkan bahwa hukum kewarisan islam merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap pemeliharaan harta peninggalan seorang muslim. Disamping itu, hukum kewarisan islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an untuk tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) dalam keadaan lemah. Rangkaian pengertian dan ketentuan yang ada Dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan teoritik.
Pengamalannya bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu kifayah). Seperti sabda Rasulullah SAW Dari Ahmad bin Hanbal: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang suatu ketika mati dan ilmupun hampir hilang, sampai-sampai dua orang bersengketa dalam urusan faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaimana penyelesainnya.” (Basyir, 2001: 7).
Dan juga firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 11 yang bunyinya sebagai berikut Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuannya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunya beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) dan sudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. An-Nisa’: 11)
PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Dr, S.H, MH, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Dian Khairul Umam, Drs, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia Bandung, 2000.
Subekti, Prof, S.H, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 31, Jakarta: Intermasa, 2003.
H. Abdurrahaman, S.H, MH, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007.
0 Response to "HUKUM WARIS"
Post a Comment