-->

KOSMOLOGI DALAM AL-QUR’AN


PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, orang mulai melakukan pengamatan lebih rasional terhadap alam semesta. Astronomi berkembang, dari pengamatan bintang dan planet melebar ke studi struktur dan evolusi alam semesta. Lahirlah Kosmologi, sains yang mencari pemahaman fundamental alam semestaa. Menarik jika kita melihat hubungan Sains dengan Teologi. Kosmologi Islam menjadi contoh yang sangat bagus untuk menggambarkan hubungan harmonis di antara kedanya: bagaimana sains membantu memahami al-Quran. Tulisan ini akan menyajikan bagaimana Islam mengajarkan Kosmologi pada umat manusia dari literatur paling utama: al-Quran. Dan kemudian kita akan melihat bagaimana sains membahas dalam kasus yang sama. Bukan bermaksud untuk mencocok-cocokkan agama dengan sains atau sebaliknya. Sebagai muslim tentu percaya al-Quran mutlak kebenarannya, walau mungkin kemampuan kita belum cukup memahami maknanya. Sementara kebenaran sains itu relatif, sebuah teori (dalam sains) dianggap benar selama tidak ada teori yang membuktikan itu salah. Teori yang dianggap benar sekarang bisa jadi usang 100 tahun lagi. Pemaparan literatur sains yang dilakukan adalah sejauh pemahaman sains itu sendiri dan teknologi yang menyertainya. Pengamatan kita tentang alam semesta ini dalam kerangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Yakni dengan menyaksikan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya melalui ayat –ayat karuniyah-Nya yang terhampar luas di alam semesta.
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara langsung dengan kepercayaan agama selain kosmologi—ilmu yang berhubungan dengan asal-usul dan pengembangan alam semesta. Namun, adanya hubungan langsung itu sendiri masih membingungkan. Apa yang dimaksud dengan kosmologi pada saat ini seluruhnya berbeda dengan yang dimaksud pada abad kedelapan.
Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat, dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki karakteristik tertentu, pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu saja mengalami perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi fondasi langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara teoritis.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi Kosmologi ?
2.      Apa pengaruh Al-Qur’an dalam kosmologi ?
3.      Apa saja bukti-bukti ayat yang menunjukkan penciptaan alam semesta ?
4.      Bagaimana Penciptaan Alam Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Teknoloogi ?

PEMBAHASAN
     A.   DEFINISI KOSMOLOGI

Kosmologi atau dalam bahasa inggrisnya “cosmology” adalah gabungan dari dua kata yaitu “cosmo” dan “logos” yang berasal dari bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau dunia yang teratur, dan “logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau asas-asas rasional. Dengan demikian Kosmologi adalahsatu kajian berkenaan evolusi dan struktur alam semesta yang teratur yang ada masa kini. Kamus Webster pula mentakrifkan Kosmologi sebagai teori atau falsafah mengenai wujud alam semesta, kamus Oxford dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teiri alam semesta. Kosmologi berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini karena kajian mengenai pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji bagaimana suatu kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural, serta masyarakatnya dan diri mereka sendiri (Abdul Rahman,1995:1). Jika di Barat pemikiran mengenai Kosmologi bermula di Yunani, maka di Timur ada China, India, dan Persia yang mempunyai saham besar dalam mencirikan Kosmologi.
Kesulitan eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran manusia tempo dulu, mitos, pengataman yang terbatas, dan teologi. Teologi menjadi sumber yang paling banyak berkontribusi.
Mitos misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi basis dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau bagaimana kepercayaan bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari teologi, hampir seluruh agama menyertakan cerita alam semesta; Hindu, Budha, Kristen, Yahudi, dan Islam. Setelah sains berkembang dan teknologi memadai, baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.
B.   PENGARUH AL-QUR’AN DALAM KOSMOLOGI
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayatmerujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah(be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan yang sangat spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan planet-planet sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka (QS. 6:97); Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam (QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-kuantitatif. Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai asal—dan juga sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi pada dasarnya sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu alasan mengapa belum ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti mendesak kepada pembacanya bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah yang ditentukan oleh Al-Quran itu sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan untuk menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya untuk mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik. Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas ketertiban dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya Pencipta. Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Tuhan.
Deskripsi Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga memunculkan kosmografi yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini menggambarkan fitur utama dari kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses kompleks yang melibatkan berbagai aliran pemikiran, termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, interaksi antara berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal masyarakat Muslim yang banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi juga berdimensi politis, teologis, dan sosial. Perdebatan mengenai pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai sekolah pemikiran yang secara garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah, keduanya tertarik dalam kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh tentang penciptaan. Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema besar penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi sebagaimana gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki tingkatan-tingkatan wujud dan eksistensi tertentu.
Kosmografi yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex nihilo dalam waktu. Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai masalah penciptaan dan keabadian terjadi antara filsuf Helenis Muslim dan lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh perdebatan yang muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial, sama seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup penerimaan segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya dari Aristoteles, meskipun mereka menerima keabadian dunia.
Modifikasi kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles sebagai “materi” dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics, dia menyatakan bahwa substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua didasarkan atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan selanjutnya pada pandangan ini, materimenjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan mengalami kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya diambil, jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa rasa, produk, kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah kuantitas dan bukan substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan derajat utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan, tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa; dengan demikian materi sendiri yang menjadi substansi. Adapun materi yang saya maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain, bukan dalam hal tertentu atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh yang lain. (Aristoteles, 1984:1625)
Deskripsi ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”: [Anda percaya] itu bukan tubuh, tidak ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana klaim Anda, bentuk sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang diciptakan. Sebagaimana Anda katakan, gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya sebagaimana entitas didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)
Demikian pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih seksama kita menemukan banyak kesamaan antara tradisi kosmologi Aristotelian dan skema kosmologis Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang mendalam di antara ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap Aristotelian oleh para ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh Aristoteles) ada juga pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui sebagai filsuf Muslim pertama—menolak keabadian materi dan alam semesta, meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan Plotinus. Dalam risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda`(yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta: (i) argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi, dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig, 1979:56).
C.   AYAT-AYAT YANG MENUNJUKKAN PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAN PENAFSIRANNYA

Dalam meruntut pembicaraan al-Qur’an tentang Kosmologi, pemakalah dalam penentuan ayat- ayat yang terkait, mengambilnya dari konsep yang ditawarkan Achmad Baiquni tentang penciptaan alam semesta dalam bukunya Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Karena pembahasannya sejalan dengan pengetahuan Kosmologi modern. . Ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan penciptaan alam semesta itu adalah:

1.      QS. al-Anbiya’/21: 30                             
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. al-Anbiya’/21: 30
Tema sentral QS. al-Anbiya’ adalah tentang kenabian. Ia dawali dengan uraian tentang dekatnya hari kiamat dan keberpalingan manusia dari ajakan kebenaran. Ayat ini termasuk dalam pengelompokan ayat (ayat 21-33 QS. al-Anbiya’) yang berbicara tentang bukti keesaan Allah dan kuasa-Nya. Setelah pada ayat sebelumnya mengemukakaan tentang berbagai argumen tentang keesaan Allah baik yang bersifat aqli maupun naqli; yakni yang bersumber dari kitab-kitab suci, maka kini kaum musyrik diajak untuk menggunakan nalar mereka guna sampai pada kesimpulan yang sama dengan apa yang dikemukakan itu.Kata ratqan dari segi bahasa berarti terpadu atau tertutup sedang fafataqnaahumaa terambil dari kata fataqa yang berarti terbelah/ terpisah. Ibnu ‘Abbas menyatakan lalu Allah memisahkan keduanya dan Dia mengangkat langit ke posisi di mana ia berada sedang Bumi tetap pada tempatnya. Ka’ab mengatakan bahwa Allah menciptakan langit yang padu lalu Ia menciptakan uadara yang dihembuskan ke tengh-tengah keduanya sehingga keduanya terpisah.
Langit itu dikatakan ratqan apa bila tidak turun hujan dan bumi dikataka ratqan bila tidak ada retakan. Lalu Allah memisahkan keduanya dengan air dan tumbu-tumbuhan yang menjadi rezki bagi manusia.Firman Wa ja’alnaa min al-ma-i kull syay-i hayy ada yang memaknainya dalam arti segala yang hidup membutuhkan air, atau pemeliharan kehidupan segala sesuatu adalah dengan air, atau kami jadikan cairan yang terpancar dari shulbi (sperma) segala yang hidup yakni dari jenis binatang. Sebagian mufassir mengartikannya termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan dan pohon yang tumbuh karena ada air yang menjadikannya subur, hijau dan berbuah.Ayat di atas mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan padu. Alam yang padu itu lalu dipisahkan oleh Allah. Namun al-Qur’an tidak menjelaskan kapan dan bagaimana terjadinya pemisahannya itu.
2.      QS. Adz-Dzariyat/51: 47
Dan langit itu kami bangun dengan kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa. QS. Adz-Dzariyat/51: 47 Tema utama QS Adz-Dzariyat adalah uraian tentang hari kiamat yang dibuktian antara lain dengan membuktikan keesaan Allah. Ayat di atas termasuk kelompok ayat 38- 51 QS. Adz-Dzariyat) yang membuktikan keesaan Allah dengan tokoh sentralnya nabi Musa.
Menurut al-Biqa’i ayat yang sebelumnya menegaskan bahwa siksa yang menimpa generasi yang terdahulu bersumber dari atas langit. Boleh jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut disebabkan karena kerusakan yang terjadi pada ciptaan Allah—di langit itu. Ayat ini menampik dugaan tersebut sambil menegaskan kekokohan dan kuatnya ciptaan Allah itu. Kata ayd bentuk jamak dari yad/ tangan. Banyak ulama yang mengartikannya kuasa dan ada juga yang mengartikannya nikmat. Maha luas Kuasa serta Maha luas Nikmat-Nya. Kalimat wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami benar- benar maha Luas difahami oleh al-Biqa’i dengan pengertian maha Kaya lagi maha Kuasa tanpa batas. Terambil dari kata wus’u yakni kemampuan.
1.      Komentar tim pengusun Tafsir al-Muntakhab yang terdiri dari pakar Mesir kontemporer bahwa ayat ini mengisyaratkan beberapa isyarat ilmiah. Antara lain, Allah menciptakan alam yang luas ini dengan kekuasaan-Nya. Dia maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata sama’ berarti segala sesuatu yang berada di atas dan menaungi. Maka segala sesuatu yang ada di sekitar benda langit dan tata surya di sebut sama’. Alam raya kita amat luas, lalu mengartikan wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami benar- benar maha meluaskan (yakni alam raya ini) menunjukkan hal itu. Artinya, kami meluaskan alam itu sebegitu luasnya semenjak diciptakan. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa meluasnya alam ini terus berlangsung sepanjang masa.
3.      QS. Al-Fush-shilat/41: 9.
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya? (yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam". QS. Al-Fush-shilat/41: 9
Tema utama QS. Al-Fush-shilat adalah pembuktian tentang kebenaran al-Qur’an, bantahan terhadap kepercayan kaum musyrikin serta ancaman terhadap mereka. Dan tuntunan kepada nabi bagaimana menghadapi mereka. Ayat sebelumnya berisikan kecaman terhadap orang musyrikin, baik karena sikap mereka menyekutukan Allah, keniscayaan kiamat dan kedurhakaan lainnya. Ayat ini menjelaskan betapa buruknya sikap tersebut sekaligus memaparkan betapa kuasanya Allah. Firman-Nya latakfuruwna/ kamu kafir terkait dengan beberapa persoalan, antara lain: pernyataan mereka bahwa Allah tidak sanggup membangkitakan kembali orang yang telah meninggal, mempertanyakan tentang kerasulan nabi Muhammad dan pernyataan mereka bahwa Allah punya anak. Dan Perbuatan menyekutukan Allah itu merupakan perbuatan aniaya yang besar (zulmun kabiirun).
4.      QS. Al-Fush-shilat/41: 10
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. QS. Al-Fush-shilat/41: 10 Allah menciptakan bumi serta memperindahnya. Juga menciptakan gunung yang kukuh di atasnya agar bumi yang terus berotasi itu tidak oleng. Dan ia melimpahkan aneka kebajikan sehingga ia berfungsi sebaik mungkin da dapat menjadi hunian yang nyaman buat manusia dan hewan. Serta menentukan kadar makanan- makanan untuk para penghunyinya. Semua itu telaksana dalam empat hari; dua hari untuk penciptaan bumi dan dua hari untuk pemberkahan dan penyiapan makanan bagi para penghuninya.Kata qaddara berarti memberi kadar, yakni kualitas, kuantitas cara dan sifat-sifat tertentu sehingga dapat berfungsi dengan baik. Dapat juga berarti memberinya potensi untuk menjalankan fungsi yang ditetapkan Allah bagi masing-masing. Kata aqwat merupakan bentuk jama’ dari kata qut yang pengertiannya mencakup makna pemeliharaan dan pengawasan Allah, sehingga penentuan kadar qut ini tidak hanya menyangkut makanan jasmani tetapi mencakup pengaturan Allah terhadap bumi yang menjadi hunian manusia. Sebagai contoh terkait gaya Gravitasi Bumi sehingga ia berputar/rotasi pada garis edarnya dan. Gaya Gravitasi benda-benda langit ini melindunginya juga untuk tidak melenceng dari garis edarnya sehingga tidak saling bertabrakan. Dan wa qaddara fiyhaa menurut Muhammad ibn Ka’ab menentukan makanan bagi tubuh sebelum penciptaannya. Mujahid mengatakan Allah menentukan makanan dari hujan, yang dimaksud di sini makan untuk Bumi bukan untuk penduduknya.
Di antara bukti-bukti tentang keesaan dan kemahakuasaan Allah itu ditegaskan dalam al-Qur’an tentang penciptaan alam semesta yang begitu hebat pengaturan, begitu menakjubkan, begitu luar biasa indah… semua itu tentu petunjuk adanya yang Mahaesa, Maha Pencipta; Allah Subhanah wa Ta’ala. Demikian juga dengan ayat tentang penciptaan alam yang madaniyah, karena di antara kandungan ayat madaniyah adalah sikap terhadap orang kafir, musyrik dan ahl al-kitab. Itulah gambaran kandungan ayat-ayat tentang penciptaan alam semesta dalam kerangka di atas.
·         Berikut tathbiq (meminjam istilah M Quraish Shihab) Achmad Baiquni terhadap ayat-ayat yang terkait dengan penciptaan alam semesta:
1.      Pada saat penciptaan (sekitar 12 milyar tahun yang lalu), langit (ruang waktu) dan bumi (ruang materi), yang semula padu (dalam titik singularitas fisis), dipisahkan (ketika keluar dari padanya) QS. Al-Anbiya’/21: 30.
2.      Dalam pembangunan langit (ketika ruang waktu keluar dengan ledakan yang dahsyat dari titik singularitas) dilibatkan kekuatan yang tiada taranya (sehingga terjadi gejala inflasi), yang kemudian diekspansikan (sebagaimana ia tampak kini sebagai sebagai universum yang mengembang) QS. Adz-Dzariyat/51: 47
3.      Pada pendinginan yang sangat cepat (sebagai akibat inflasi tercapai keadaan “kelewat dingin”) dan terjadi transisi fase, yang menyebabkan materialisasi energi secara berangsur, (bersamaan dengan terciptanya alam-alam lain di samping kita): materi yang muncul sebagai fase kedua sedangkan energi adalah fase pertamanya QS. Al-Fush-shilat/41: 9
4.      Dengan adanya energi materi dalam ruang alam, maka dimunulkanlah spin partikel sub nuklir, elektron, foton, dan lainnyasebagai gerak pusaran serta ditetapkannya satu muatan-muatan yang merupakan sumber kekuatan atau gaya (gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah, dan listrik magnet) dalam empat tahapan QS. Al-Fush-shilat/41: 10
5.      Sementara itu, ketika langit (ruang alam) penuh “embunan” (sebagai akibat dari inflasi, sehingga energi berubah menjadi materi). Allah mengundangkan segala peraturan yang ditaati ruang dan materi (sebagai hukum alam yang mengendalikan sifat dan kelakuan jagad raya) QS. Al-Fush-shilat/41: 11
6.      Allah menjadikan tujuh langit (ruang alam) dalam dua tahap, (pada saat inflasi dan sesudahnya) dan menetapkan hukum-hukum alam yang berlaku di dalamnya. Serta menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita (dalam bentuk bintang, bulan, mata hari dan sebagainya) serta menjaganya ( dengan memberikan atmosfer, lapisan ozon dan sebagainya) QS. Al-Fush-shilat/41: 12
7.      Allah-lah yang menciptakan tujuh langit (ruang alam) dan tujuh Bumi padanannya (atau materi masing-masing alam yang di dalam ayat tersebut dinyatakan memiliki hukum mereka masing-masing yang tidak perlu sama) QS. Ath- Thalaq/65 : 12
8.      Allah menciptakan langit (ruang alam) serta bumi (materi alam) dan apa saja yang berada di antaranya dalam enem priode atau tahapan, sambil menegakkan pemerintahan-Nya. (tahap inflasi dan tahap ekspansi ruang alam yang sesuai dengan tahap energi dan tahap materialisasi yang diikuti tahap penciptaan interaksi gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah dan elektromagnetik) QS. al-Sajdah/ : 4
9.      Dia menciptakan langit (ruang alam) serta bumi (materi alam) dalam enam tahapan sementara itu telah ditegakkan pemerintahan-Nya pada materi yang bersifat fluida (atau segal peraturan atau hukum alam-Nya telah efektif pada seluruh makhluk-Nya, yang pada waktu itu masih berujud zat alir yang sangat rapat dan sangat panas) QS. Hud/11: 7
10.  Allah menahan alam semesta untuk tidan “mbedal” dan untuk tidak mengembang terus tanpa henti QS. Fathir/35: 41
11.  Allah akan mengecilkan kembali jagad raya seperti sedia kala, ketika jagad raya diciptakan pada awalnya, yang menjamin bahwa alam kita bersifat tertutup (closed universe) QS. al-Anbiya’/21: 104

KESIMPULAN
Dari uraian penafsiran para mufassir di atas dan penjelasan (tathbiq) para ilmuan dapat kita tarik benang merah berikut. Para mufassir mencoba menjelaskan ayat-yat tentang penciptaan alam semesta tersebut berdasarkan pada aspek kebahasaan al-Qur’an, penjelasan hadis Rasulullah, penjelasan para sahabat nabi, munasanah ayat, asbab an-nuzul, pendekatan ilmiah dan aspek-aspek lainnya.
M. Quraish Shihab dalam menjelaskan ayat- ayat kauniyah memasukkan juga pendekatan ilmiah dalam tafsir al-Mishbah demikian Fakhr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib. Bedanya penjelasan Quraish Shihab agak lebih terperinci sedangkan penjelasan Fakhr ad-Din ar-Razi lebih sederhana.
Hal ini tentu saja sangat terkait dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa hidup mereka.Di dalam ayat-ayat yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat konsep-konsep yang sulit dipahami jika tidak ditopang oleh penjelasan ilmu kosmologi modern. Seperti konsep sama’, ardh, al-ma’, ad-dukhan, ‘arsy, rawasyi, dan aqwat. Perlu penjelasan lebih lanjut terhadap konsep-konsep di atas. Inilah tugas para ahli kosmologi modern.Hal ini terkait juga dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Bukan hanya tertuju untuk orang- orang yang terdahulu dari kita. Tapi bagi kita yang hidup di zaman sekarang dan insya Allah mereka yang hidup setelah kita. Tentu saja pemahaman terhadap al-qur’an ini disesuaikan dengan tingkat pengetahuan masing-masingnya. Agar al-Qur’an itu benar-benar menjadi petunjuk dalam kehidupan.
Banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan al-Qur’an, tujuan pemaparan ayat-ayat tersebut untuk menunjukkan kebesaran Allah dan ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk melakukan observasi dan penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya

Pustaka
Baiquni, Achmad, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996, Cet. Ke-1
____________, Konsep- Konsep Kosmologi , media.isnet.org
Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains, Febdian.net Manzur, Ibnu, TTh, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, TTp: Dar al-Ma’arif


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "KOSMOLOGI DALAM AL-QUR’AN"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel